Senin, 16 November 2009

Ushul Fiqh (Qiyas)

QIYAS

1. Pengertian Qiyas

Qiyas menurut bahasa ialah pengukuran sesuatu dengan yang lainnya atau penyamaan sesuatu dengan yang sejenisnya. Ulama ushul fiqh memberikan defenisi yang berbeda-beda tergantung pada pandangan mereka terhadap kedudukan qiyas dan istinbath hukum. Dalam hal ini mereka terbagi atas dua golongan yaitu:

Golongan Pertama,menyatakan bahwa qiyas merupakan ciptaan manusia, yaitu pandangan mujtahid. Sebaliknya, menurut golongan kedua, qiyas merupakan ciptaan syari’, yaitu merupakan dalil hukum yang berdiri sendiri atau merupakan hujjat ilahiyah yang dibuat syari’ sebagai alat untuk mengetahui suatu hukum.[1]

Menurut ulama ushul, Al Qiyas berarti menyamakan suatu kejadian yang tidak ada nash kepada kejadian lain yang ada nashnya pada nash hukum yang telah menetapkan lantaran adanya kesamaan diantara dua kejadian itu dalam illat (sebab kejadiannya) hukumnya. Pengertiannya menurut bahasa arab adalah mengukur sesuatu (benda) dengan sesuatu yang lain yang bisa menyamainya, qiyas diartikan menyamakan, artinya menyamakan diantara dua benda.[2]

Secara bahasa, qiyas merupakan bentuk masdar dari kata qasa- yaqisu, yang artinya ukuran, mengetahui ukuran sesuatu. Misalnya, “Fulan mengqiyaskan baju dengan lengan tangannya”, artinya mengukur baju dengan lengan tangannya; artinya membandingkan antara dua hal untuk mengetahui ukuran yang lain. Secara bahasa juga berarti “menyamakan”, dikatakan “Fulan mengqiyaskan extasi dengan minuman keras”, artinya menyamakan antara extasi dengan minuman keras.[3]

Dalam perkembanganya, kata qiyas banyak digunakan sebagai ungkapan dalam upaya penyamaan antara dua hal yang berbeda, baik penyamaan yang berbentuk inderawi, seperti pengkiasan dua buah buku. Atau maknawiyah, misalnya “Fulan tidak bisa dikiaskan dengan si Fulan”, artinya tidak terdapat kesamaan dalam ukuran.

Selain defenisi diatas masih banyak definisi lainnya yang dibuat oleh para ulama mengenai qiyas diantaranya ialah:

1. Menurut Drs. Beni Ahmad Saebani, M.S.I, bahwa qiyas Berasal dari kata qasa-yaqisu-qiyasan, artinya mengukur dan ukuran. Kata qiyas diartikan ukuran sukatan, timbangan, dan lain-lain yang searti dengan itu, atau pengukuran sesuatu dengan yang lainnya atau penyamaan sesuatu dengan yang sejenisnya.

2. Menurut Dra. Hj. Imaning Yusuf, M.Hum, qiyas ialah mempersamakan hukum peristiwa yang belum ada ketentuannya dengan hukuim peristiwa yang sudah ada ketentuannya, karena antara kedua peristiwa terdapat segi-segi persamaan dalam illat hukumnya.

3. Menurut Asywad Syukur, bahwa qiyas menurut arti bahasa adalah ukuran atau perbandingan, dan menurut para fuqaha adalah untuk menamakan sesuatu proses diduksi melalui yang disebutkan oleh nash hukum terhadap yang tidak tercantum dalam bahasanya dan yang tidak diatur menurut pengertian nash.

4. Para fuqaha memberikan defenisi tentang qiyas, mereka katakan qiyas adalah menghubungkan suatu peristiwa yang ada nash hukumnya dengan disamakan hukumnya dengan cara yang tercantum dalam nash itu karena adanya persamaan dalam kedua peristiwa pada illat hukumnya. (Asywadi Syukur: 87)

5. Menurut Wael B Halaq, bahawa qiyas ialah bentuk argumen yang dikelompokkan dalam analogi, yang merupakan pola dasar dari semua argumen hukum. Sebenarnya, argumen analogi yang dipakai dalam hukum, dalam pikiran sebagai teolog dan faqih, menjadi pola dasar dari semua argumen logis, mencakup silogisme, silogisme kategoris dianggap secara epistimologis sama dengan dan kurang (argumentatif) ketimbang analogi hukum.

6. Menurut Syekh Abdul Wahab Khallaf, bahwa qiyas dalam istilah ushul yaitu menyusul peristiwa yang tidak terdapat nash hukumnya dengan peristiwa yang terdapat nash bagi hukumnya. Dalam hal hukum yang terdapat nash untuk menyamakan dua peristiwa pada sebab hukum ini.

7. Menurut Rizal Qosim, arti qiyas menurut bahasa ialah mempersamakan sesuatu. Sedang menurut istilah berarti menetapkan hukum sesuatu perbuatan yang belum ada ketentuannya, berdasarkan sesuatu yang sudah ada ketentuan hukumnya.

8. Menurut Sadr al-Syari’ah, tokoh ushul fiqh Hanafi mengemukakan bahwa qiyâs adalah Memberlakukan hukum asal kepada hukum furu’ disebabkan kesatuan illat yang tidak dapat dicapai melalui pendekatan bahasa saja. Maksudnya, ‘illat yang ada pada satu nash sama dengan ‘illat yang ada pada kasus yang sedang dihadapi seorang mujtahid, karena kesatuan ‘illat ini, maka hukum kasus yang sedang dihadapi disamakan dengan hukum yang ditentukan oleh nash tersebut.

9. Menuurut DR. Wahbah al-Zuhaili mendefinisikan qiyâs dengan menyatukan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam nash dengan sesuatu yang disebutkan hukumnya oleh nash, disebabkan kesatuan illat antara keduanya.

10. Menurut Imam Baidhowi dan mayoritas ulama Syafi’iyyah mendefinisikan bahwa qiyas Membawa (hukum) yang (belum) di ketahui kepada (hukum) yang diketahui dalam rangka menetapkan hukum bagi keduanya, atau meniadakan hukum bagi keduanya, baik hukum maupun sifat.

Dari definisi diatas dapat kita simpulkan secara umum bahwa qiyas ialah suatu proses penyingkapan kesamaan hukum suatu kasus yang tidak disebutkan dalam suatu nash, dengan suatu hukum yang disebutkan dalam nash karena adanyakesamaan dalam illatnya.

B. Kedudukan Qiyas Dan Kehujjahan Qiyas

Hujjah secara bahasa artinya petunjuk atau bukti, adapun arti qiyâs sebagai hujjah adalah petunjuk atau bukti untuk mengetahui beberapa hukum syar’i. Sedangkan arti hujjiyatul qiyâs sendiri adalah bahwa qiyâs merupakan dasar dari dasar-dasar pensyareatan dalam hukum-hukum syar’i’ praktis.[4] Ulama ushul fiqih berbeda pendapat terhadap kehujjahan qiyas dalam menetapkan hukum syara’. Tetapi mereka sepakat bahwa qiyâs bisa dijadikan sebagai hujjah dalam perkara-perkara duniawi, sebagaimana pula mereka sepakat kehujjahan qiyâs Nabi Saw.

Qiyas dalam sumber hukum Islam menduduki kedudukan keempat diantara hujah syar’iyah yang ada. Ketiga yang lainnya adalah al-Qur’an, hadits, dan ijma’. Mengqiyaskan sesuatu yang tidak ada nashnya (al-Qur’an dan hadits), terlebih dahulu harus melalui penelaahan terhadap ijma’. Apabila tidak diketahui atau tidak ada, pemecahannya melalui qiyas. Bagi ulama yang menggunakan qiyas dalilnya berdasarkan firman Allah swt, surat an-Nisa (4) ayat 59 :

$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqß§9$# Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqß§9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ

Artinya :

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.(Q.S. an-Nisa : 59)

Dalil diatas dijadikan hujjah (alasan) sebagai sumber dalil qiyas karena terdapat perintah untuk menyelesaikan persoalan dengan kembali merujuk pada al-Qur’an, hadits, dan kesepakatan ulil amri. Artinya tidak diragukan lagi bahwa menghubungkan kejadian yang tidak ada nashnya lantaran kesamaan illat hukum, termasuk mengembalikan kejadian yang tidak ada nash dari Allah dan Rosulnya, berarti taat kepada hukum Allah swt.

Menurut madzhab Nizamiah, Zahiriah dan ada beberapa cabang dari syi’ah mengatakan bahwa qiyas itu tidak boleh dijadikan hujjah syar’i terhadap hukum. Mereka ini meniadakan qiyas. Orang yang menetapkan qiyas itu dapat dijadikan hujjah, karena berdalilkan al-Qur’an, sunah, perkataan dan perbuatan para sahabat dan dengan ma’qul (hasil dari pendapat-pendapat). Diantaranya yaitu al-Quran surat an-Nisa ayat 59 dan dalil yang kedua ialah surat al-Hasyr ayat 2.[5]

Sedangkan qiyas yang didasarkan hadits Nabi saw, yang berupa dialog antara beliau dengan Muaz bin Jabal pada waktu ia akan diutus ke Yaman.

Artinya :

”Bagaimana engkau akan memutuskan, jika kepadamu diserahkan urusan peradilan? Ia menjawab, “aku akan memutuskannya dengan kitab Allah.” Bertanya lagi Rosulullah, “Apabila kamu tidak jumpai dalam Kitabullah?” Ia mrnjawab, “Dengan sunah Rosulullah saw.” Lalu, Rosulullah bertanya lagi, “Apabiala kamu tidak mendapati dalam sunah Rosulullah dan tidak pula dalam Kitabullah?” Ia menjawab, “Aku melakukan ijtihad bir-ra’yi dan aku tidak akan mengurangi (dan tidak berlebi-lebihan). Berkatalah Muaz, “Maka Rosulullah menepukdadku dan bersabda, “segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada utusan Rosulullah, sebagimana Rosulullah telah meridhoi,” (H.R. at-Tirmidzi)

Hadits diatas menunjukan bagi mujtahid untuk menyelesaikan masalah dengan ketentuan diluar sumber utama hukum Islam (al-Qur’an dan Hadits), sejauh tidak diketemukan hukum dalam keduanya dengan melakukan ijtihad berupa apapun termasuk menggunakan qiyas.

Dalil ketiga adalah dalil rasionalitas akal, nash dan hadits Rosulullah saw adalah dua sumber hukum Islam yang tidak dapat bertambah dan berkurang. Sementara itu, persoalan dunia selalu bertambah dan makin banyak. Sudah tentu persoalan-persoalan baru itu menghendaki penyelesaian dan kesudahan. Oleh karena itu, melalui cara ijtihad qiyas, persoalan diharapkan terbantu terselesaikan sesuai dengan masdaru at-tasyri’ al-islamy tasyr’ (tujuan hukum Islam).

C. Rukun Qiyas

Dari pengertian qiyas yang dikemukakan diatas dapat disimpulkan bahwa unsur pokok (rukun) qiyas terdiri atas empat unsur yaitu sebagai berikut:

1. Ashl (pokok) yaitu suatu peristiwa yang sudah ada nashnya yang dijadikan tempat mengqiyaskan. Ini berdasarkan pengertian ashl menurut fuqaha. Sedangkan ashl menurut hukum teolog adalah suatu nash atau syara’ yang menunjukan ketentuan hukum, dengan kata lain, suatu nash yang menjadi dasar hukum. Ashl itu disebut juga maqis alaih (yang dijadikan tempat mengqiyaskan), mahmul alaih (tempat membandingkan), musyabbah bih (tempat menyerupakan).

2. Far’u (cabang) yaitu peristiwa tang tidak ada nashnya. Far’u itulah yang dikehendaki untuk disamakan hukumnya dengan ashl. Ia disebut juga maqis (yang dianalogikan), musyabbah (yang diserupakan). Al-far’u disyaratkan:

a). Belum ada hukumnya, baik berdasarkan nash maupun ijma’,

b). Mempunyai persamaan illat,

c). Datangnya lebih akhir dari al-ashl.

3. Hukumu’lashl, yaitu hukum syara’, yang ditetapkan oleh suatu nash.

4. Illat yaitu suatu sifat yang terdapat pada ashl. Dengan adanya sifat itulah, ashl mempunyai suatu hukum, dan dengan sifat itu pula, terdapat cabang, sehingga hukum cabang itu disamakan dengan hukum ashl.

Dua rukun yang pertama tersebut, al-ashl dan al-far’u, merupakan dua kejadian atau dua tempat atau hal. Yang pertama (al-ashl) ada nash yang menunjukan suatu hukum, sedang yang kedua tidak ada nash yang menunjukan suatu hukum. Pada dua rukun tersebut tidak disyaratkan dengan beberapa syarat, kecuali hukum ashl (asal) itu tetap dengan nash. Tidak pulamelalui ijma’, dan tidak ada penghalang untuk menyamakan rukun-rukun tersebut dalam hal hukumnya.

Mengenal rukun yang ketiga, yaitu hukmul’ashl (hukum asal) ketika orang menyamakan hukum cabang harus dibarengi dengan beberapa syarat. Sebab, tidak semua hukum syara’ yang terdapat dalam nash mengenal suatu kejadian dapat disamakan dengan kejadian lain melalui al-qiyas (kiyas). Hukum yang disamakan kepada cabang dengan jalam qiyas itu harus memenuhi syarat-syaratnya:

1. Merupakan hukum syara’ ‘amaliyah yang ditetapkan nash. Mengenai hukum syara’’amaliyah yang ditetapkan ijma’, maka dalam hal menyamakan hukumnya kepada cabang ada dua pendapat:

a). Menyamakannya tidak sah. Pendapat ini merupakan pendapat yang layak dianggap benar. Sebab ijma’ itu harus disertai dengan hukum yang telah disepakati dasarnya. Dan orang yang merubah tempat bersandarnya hukum tidak bias mempersamakan illat hukum yang sudah menjadi kesepakatan, atau ijma’ menurut istilah ahli ushul.

b). Menyamakan adalah sah. Asy-Syaukani mengatakan, pendapat ini adalah pendapat yang paling benar diantara dua pendapat yang ada. Mengenai hukum syara’ yang ditetapkan berdasarkan qiyas, maka dianggap tidak sah mempersamaknnya. Sebab, jiaka cabang melalui qiyas, illatnya menyamakan sesuatu yang telah ditetapkan hukumnya berarti menyamai suatu kejadian yang terddapat nash nya. Dan hukum sesuatu yang disamakan dengan jalan qiyas adalah nash. Dan jika illatnya tidak sama, maka menyamakan hukumnya pun tidak sah.

2. Illat yang ada pada hukum asal itu hendaknya dapat terjangkau akal. Sebab, kalau akal tidak bisa mengetahui illatnya berarti tidak bisa melakukan persamaan dengan jalan qiyas. Hal ini lantaran dasar dari pada qiyas adalah diketahuinya illat hukum asal, dan mengetahui perwujudan illat pada cabang. Syarat-syarat ini dikemukakan lantaran hukum-hukum syara’ ‘amaliyah disyari’atkan untuk kemaslahatan umat manusia, disamping karena illat dijadikan dasar hukum. Jadi hukum tidak disyari’atkan tanpa adanya illat.

3. Hukum asal yang tidak ditakhshish (dikhususkan) karena jika hukum asal itu dikhususkan berarti tidak bisa disamakan kepada lainnya dengan jalan qiyas. Karenanya, hal-hal yang disebutkan terdahulu merupakan dalil-dalil hukum yang khusus berlaku bagi Nabi dan Huzaimah.

Rukun yang keempat adalah illat. Rukun ini merupakan rukun terpenting lantaran illat merupakan dasar adanya qiyas, yang pembahasannya merupakan bagian terpenting.[6]

Antara illat hukum dan sebab hukum tidak terdapat batasan yang jelas dan tegas. Illat hukum masih diperdebatkan diantara para ulama. Al-Ghazali mengatakan bahwa illat masih bersifat umum sekali. Untuak sekedar pengetahuan awal, dapat diketahui bahwa illat pada dasarnya adalah alasan yang mendorong dilakukannya suatu perbuatan baru atau hukum baru yang mengikutinya, seperti dalam contok keharaman khamar, yaitu arak menjadi haram karena alasan illat memabukkan, seperti khamar.[7]

D. Macam-Macam qiyas

Qiyas sebagai metode mencari hukum dalam persoalan-persoalan far’u (persoalan yang tidak ada nash dalam al-Qur’an dan hadits), terbagi menjadi dua bagian, yaitu qiyas awlawi dan musawi:

1) Qiyas Awlawi

Qiyas Awlawi adalah sesuatu yang tidak disebut (tersirat) lebih utama dari sesuatu yang disebut (tersurat). Contoh larangan menggunakan kata ah kepada orang tua dan larangan membentak. Firman Allah:

Ÿxsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é& Ÿwur $yJèdöpk÷]s? @è%ur $yJßg©9 Zwöqs% $VJƒÌŸ2 ÇËÌÈ

Artinya:

…………Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia[850]. (Q.S. al-Isra’ : 23)

[850] Mengucapkan kata Ah kepada orang tua tidak dlbolehkan oleh agama apalagi mengucapkan kata-kata atau memperlakukan mereka dengan lebih kasar daripada itu.

Illat dari kata pelarangan berkata ah kepada orang tua adalah kata ah merupakan kata yang menyakitkan bagi orang tua,. Oleh karena itu, setiap perbuatan yang menyakiti orang tua dilarang oleh Allah swt, seperti memarahi, meludahi, memukul dan mengacuhkan orang tua. Contoh-contoh tersebut adalah far’u (cabang) dan ashlnya adalah ah dan membentak, seperti dalam firman Allah swt diatas.

2) Qiyas Musawi

Qiyas Musawi adalah sesuatu yang tidak disebut sejajar dengan sesuatu yang disebut. Untuk memahami dengan mudah pengertian qiyas musawi, perhatikan contoh keterangan berikut.

Dalam qiyas musawi sesuatu yang tidak disebut itu sepadan (sama) dengan sesuatu yang disebutkan dalam nash.

Firman Allah swt:

¨bÎ) tûïÏ%©!$# tbqè=à2ù'tƒ tAºuqøBr& 4yJ»tGuŠø9$# $¸Jù=àß $yJ¯RÎ) tbqè=à2ù'tƒ Îû öNÎgÏRqäÜç/ #Y$tR ( šcöqn=óÁuyur #ZŽÏèy ÇÊÉÈ

Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).(Q.S. an-Nisa : 10)

Dalam ayat diatas, secara jelas terdapat larangan untuk memakan harta anak yatim dengan cara yang zalim. Tafsiran para ulama terhadap kata (ya’kulu) dalam ayat tersebut bermakna merusak (itlaf). Harta yang habis dimakan sama dengan harta yang habis karena rusak. Maksudnya, sama-sama habisnya. Oleh sebab itu, para ulama sepakat bahwa merusak harta anak yatim adalah haram. Jelasnya yang disebut dalam nash adalah memakan harta nak yatim dengan cara zalim, tetapi yang dimaksud adalah larangan merusak harta anak yatim.

3) Qiyas Adna

Adalah qiyas yang tingkatan ‘illat hukum pada far’u-nya lebih rendah dari ashlu. Seperti ‘illat memabukkan yang terdapat pada nikotin; lebih rendah dari ‘illat memabukkan pada khamer.


E. Contoh Qiyas

1. Qiyas keharaman extasy/pil koplo/narkotika.

Hukum mengkonsumsi extasy atau pil koplo tidak tertulis secara eksplisit di dalam al-Qur’an ataupun hadist. Namun dalam al-Qur’an surat al-Maidah ayat 90, Allah Swt berfirman:

$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä $yJ¯RÎ) ãôJsƒø:$# çŽÅ£øŠyJø9$#ur Ü>$|ÁRF{$#ur ãN»s9øF{$#ur Ó§ô_Í ô`ÏiB È@yJtã Ç`»sÜø¤±9$# çnqç7Ï^tGô_$$sù öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÒÉÈ

Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (minum) khamr; berjudi, menyembah patung dan mengundi nasib dengan anak panah tidak lain hanyalah suatu yang kotor, termasuk perbuatan syaitan, karena itu hendaklah kamu jauhi agar kamu mendapat keberuntungan." (al-Mâidah: 90)

Pada ayat diatas, Allah menerangkan keharaman minum khamer. Maka metode qiyas dapat digunakan untuk menetapkan hukum mengkonsumsi extasy atau narkotika;

~ Al-Ashlu: minuman keras atau khamer

~ hukum asli: haram

~ Al-far’u: extasy

~ Al-‘illah: memabukkan,

Dari rincian di atas, dapat disimpulkan bahwa antara extasy dan minum khamer terdapat persamaan dalam ‘illah, yaitu sama-sama memabukkan sehingga dapat merusak akal. Jadi dapat disimpulkan bahwa mengkonsumsi extasy atau narkotik hukumnya haram, sebagaimana haramnya minum khamer.[8]


F. Penutup

Berbagai masalah qiyas yang begitu panjang dibahas oleh para ulama, pada masa sekarang ini sudah selayaknya untuk langsung dihadapkan dengan realitas umat. Karena sesempurna apapun sebuah konsep, tetapi tanpa adanya realisasi nyata, maka hanya akan sia-sia tersimpan sebagai sebuah literatur.


"Bagaimana (cara) kamu menetapkan hukum apabila dikemukakan suatu peristiwa kepadamu? Mu’adz menjawab: Akan aku tetapkan berdasar al-Qur’an. Jika engkau tidak memperolehnya dalam al-Qur’an? Mu’adz berkata: Akan aku tetapkan dengan sunnah Rasulullah. Jika engkau tidak memperoleh dalam sunnah Rasulullah? Mu’adz menjawab: Aku akan berijtihad dengan menggunakan akalku dengan berusaha sungguh-sungguh. (Mu’adz berkata): Lalu Rasulullah menepuk dadanya dan berkata: Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk petugas yang diangkat Rasulullah, karena ia berbuat sesuai dengan yang diridhai Allah dan Rasul-Nya." (HR. Ahmad Abu Daud dan at-Tirmidzi)



[1] Prof. Dr. Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung, Pustaka Setia, 2007, Hlm 86.

[2] Dr. Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, Da’wah Islamiyah Syabab al Azhar, 1992. Hlm 92-93.

[3] Dr. Shaleh Zaidân, Hujjiyatul Qiyâs, Dâr al-Shahwah, Hilwan, Kairo, cet. I. 1987, hlm 13.

[4] Dr. Wahbah Zuhaili, Usul al-Fiqh al-Islâmi, Dâr al-Fikr, Damsyiq, juz. II. 2005, hal. 577

[5] Syekh abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, Jakarta, Rineka Cipta, 2005, Hlm 60-61

[6] Ibid, hlm 107-110

[7] Rizal Qosim, Pengalaman fiqih 3, Yogyakarta, Tiga Serangkai, 2004, Hlm 60

[8] Prof. Dr. Abdul Karim Zaidan, al-Wajîz fiy Usuli al-Fiqh, Muassisatu al-Risalah, Beirut, 1996, hal. 195