moeslim
Rabu, 21 April 2010
Sumber Peradilan Agama
A. Latar Belakang
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan dalam Pasal 24 ayat (2) bahwa Peradilan Agama merupakan salah satu lembaga di lingkungan Peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung bersama Badan Peradilan lainnya di lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Militer. Peradilan Agama merupakan Badan Peradilan pelaku kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan penegakan hukum dan keadilan bagi rakyat pencari keadilan suatu perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shodaqah dan ekonomi syari’ah. Dengan penegasan kewenangan Peradilan Agama tersebut dimaksudkan untuk memberikan dasar hukum kepada Pengadilan Agama dalam menyelesaikan perkara tertentu, termasuk aturan pelaksanaannya serta memperkuat landasan hukum Mahkamah Syari’ah dalam melaksanakan kewenangannya di bidang jinayah berdasarkan qanun.
Untuk melaksanakan tugas pokok Peradilan Agama yaitu menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan setiap perkara serta menegakkan hukum dan keadilan, maka Peradilan Agama membutuhkan sumber hukum yang dijadikan pedoman (patokan) dalam memutuskan perkara yang diajukan kepadanya. Baik itu berupa sumber hukum materil maupun sumber hukum formil.
B. Rumusan Masalah
Melihat begitu kompleksnya perkara yang dihadapkan pada Peradilan Agama di Indonesia, perlu diangkat mengenai sumber-sumber hukum yang dijadikan pedoman dalam setiap putusan di lingkungan Peradilan Agama, yaitu:
Sumber hukum apa saja yang dijadikan pedoman Peradilan Agama dalam menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara yang dihadapinya untuk mewujudkan penegakan hukum dan keadilan?
SUMBER HUKUM PERADILAN AGAMA
Sumber hukum adalah segala aturan perundang-undangan yang bersifat mengatur dan mempunyai kekuatan hukum yang dapat dijadikan rujukan/patokan dalam lingkungan peradilan baik dalam Peradilan Umum maupun Peradilan Agama dalam memutuskan suatu perkara. Dalam lingkungan Peradilan Agama di Indonesia, sumber hukum yang dipakai atau dijadikan rujukan dalam memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan secara garis besar terbagi menjadi dua; yaitu sumber hukum materil dan sumber hukum formil (hukum acara).
A. Hukum Materil Peradilan Agama
Hukum Materiil Peradilan Agama merupakan semua kaidah-kaidah hukum yang mengatur dalam Islam yang kemudian disebut dengan fiqh. Menurut perjalanan sejarah peradilan agama yang berjalan pada masa lalu mengalami pasang surut, hal ini disebabkan adanya pengaruh-pengaruh politik, pemerintahan dan ekonomi pada masa kolonial Belanda. Selain itu sumber hukum meteriil selama ini bukanlah hukum yang tertulis sebagaimana hukum positif, serta berserakan dalam berbagai kitab ulama karena dari segi sosiokultural banyak mengandung khilafiyah (perbedaan), sering menimbulkan perbedaan ketentuan hukum mengenai masalah yang sama antara daerah satu dengan yang lain. Sehingga untuk menengahi banyaknya perbedaan tersebut dikeluarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 1954 tentang Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk sebagai patokan bersama. Undang-Undang ini kemudian ditindaklanjuti dengan Surat Biro Peradilan Agama No. B/1/735 Tanggal 18 Februari 1958 yang merupakan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Peradilan Agama di luar Jawa dan Madura.
Banyak terjadi perbedaan tentang keberadaan sumber hukum materiil Peradilan Agama yang tidak tertulis ini, untuk itu sesuai Surat Biro di atas ditetapkan 13 kitab fiqh Islam yang digunakan sebagai rujukan dalam memeriksa dan memutuskan perkara di lingkungan Peradilan Agama. Meskipun demikian banyak yang berpendapat hukum positif adalah hukum yang harus tertulis, sehingga hal ini dilegalisasi oleh Ketentuan Pasal 27 Ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman bahwa seorang hakim mengadili, memahami dan mengikuti nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Ketentuan ini disahkan tanggal 17 Desember 1970, namun secara riil Pengadilan Agama sesuai dengan ketentuan tersebut baru berjalan setelah adanya Skb. Mahkamah Agung dan Menteri Agama No. 01, 02, 03 dan 04 Tahun 1983 dan kemudian dikukuhkan dengan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Untuk menjembatani dua pendapat tersebut maka pada tanggal 02 Januari 1974 disahkan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Ketentuan ini didukung oleh Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, yang merupakan titik tolak awal pergeseran bagian hukum Islam menjadi hukum yang tertulis. Namun demikian masih banyak dari hukum perkawinan, kewarisan dan perwakafan yang tidak tertulis, sehingga banyak terjadinya perbedaan putusan di Peradilan Agama terhadap kasus dan masalah yang sama. Hal ini disebabkan pengambilan rujukan kitab-kitab fiqh yang berbeda-beda.
Begitu banyak kaidah-kaidah yang mengatur Islam secara kompleks, dengan didukung fiqh yang sangat toleran terhadap perkembangan zaman, Syari’at Islam begitu mudah dijalankan dalam menata kehidupan di dunia. Atas dasar itu dalam mewujudkan kepastian hukum baik dibidang perkawinan, kewarisan dan perwakafan menjadi hukum yang tertulis, maka Indonesia merintis Kompilasi Hukum Islam dengan SKB Mahkamah Agung RI dan Menteri Agama No. 07/KMA/1985 dan No. 25 Tahun 1985 Tanggal 25 Maret 1985 tentang Pelaksanaan Proyek Pembentukan Kompilasi Hukum Islam. Dimulai dengan inilah dilakukan pengumpulan data, wawancara dengan para ulama’, melakukan lokakarya dan hasil kajian, menelaah kitab-kitab dan studi banding dengan negara-negara lain. Setelah data-data terkumpul dan diolah dan menjadi naskah kompilasi diajukan oleh Menteri Agama kepada Presiden pada tanggal 14 Maret 1988 dengan Surat No. MA/123/1988 tentang pembentukan Kompilasi Hukum Islam guna memperoleh landasan yuridis sebagai pedoman untuk menyelesaikan perkara yang diajukan pada lingkungan Peradilan Agama di Indonesia.
Kebutuhan hukum Islam yang sangat mendesak, nampaknya Kompilasi Hukum Islam belum juga terbentuk sebagai undang-undang, sehingga muncullah Inpres. (Instruksi Presiden) No. 1 Tahun 1991 (tanggal 19 Juni 1991) tentang Penyebaran Kompilasi Hukum Islam. Dengan diikuti SK. Mahkamah Agung No. 154 Tahun 1991 yang intinya mengajak seluruh jajaran Departemen Agama dan Instansi Pemerintah lainnya untuk menyebarluaskan dan melaksanakan Kompilasi Hukum Islam yang berisikan hukum perkawinan, kewarisan dan perwakafan sebagai pedoman penyelesaian masalah-masalah hukum Islam yang terjadi dalam masyarakat.
B. Hukum Formil Peradilan Agama
Kata formil berarti “bentuk” atau “cara”, maksudnya hukum yang mengutamakan pada kebenaran bentuk dan kebenaran cara. Oleh sebab itu dalam beracara di muka pengadilan tidaklah cukup hanya mengetahui materi hukum saja tetapi lebih dari itu, harus lebih mengetahui dari bentuk dan cara yang sudah diatur dalam Undang-Undang. Keterikatan bentuk dan cara ini antara para pencari keadilan dan penegak hukum haruslah dikuatkan, sehingga dalam menjalankan beracara tidak bisa semaunya dan seenaknya.
Sejak masa Pemerintahan Belanda telah dibentuk Peradilan Agama di Jawa dan Madura dengan Stbl. 1882 No. 152jo. Stbl. 1937 No. 116 dan 610, di Kalimantan Selatan dengan Stbl. 1937 No. 638 dan 639, kemudian setelah Kemerdekaan RI, pemerintah membentuk Peradilan Agama di luar Jawa, Madura dan Kalimantan Selatan dengan PP No. 45 Tahun 1957. akan tetapi dalam kesemuanya itu tidak tertulis peraturan hukum acara yang harus digunakan hakim dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Sehingga dalam mengadili para hakim mengambil intisari hukum acara yang ada dalam kitab-kitab fiqh meskipun dalam penerapannya berbeda dalam putusan pengadilan satu dengan pengadilan agama lainnya. Sehingga sampai sekarang sumber hukum acara Peradilan Agama di Indonesia sama dengan Peradilan Umum yang berlaku.
Ketentuan hukum acara Peradilan Agama mulai ada sejak lahirnya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. PP No. 9 Tahun 1975 tentang peraturan pelaksanaannya. Baru berlaku sejak diterbitkannya UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang di dalamnya mengatur Susunan dan Kekuasaan Peradilan Agama, serta hukum acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Agama.
Hukum Acara Peradilan Umum untuk daerah Jawa-Madura adalah Herziene Inlandsch Reglement (HIR), di luar Jawa-Madura Rechtsreglement Voor De Buitengewesten (R.Bg), maka kedua aturan ini diberlakukan di lingkungan Peradilan Agama, kecuali hal-hal yang diatur secara khusus dalam UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Misalnya pembebanan biaya perkara pada pemohon/penggugat dengan alasan syiqaq, li’an dan ketentuan lainnya. Adapun sumber hukum acara yang berlaku di Peradilan Agama ataupun Peradilan Umum antara lain:
1. Reglement op de Burgerlijk Rechtsvordering (R.Bv)
Hukum acara ini diperuntukkan golongan Eropa yang berperkara dihadapan Raad van Justitie dan Residentie Gerecht. Ketentuan ini ditetapkan dengan Stbl. 1847 No. 52 dan Stbl. 1849 No. 63 yang berlaku sejak tanggal 01 Mei 1848.
Dengan dihapuskannya Raad van Justitie dan Hoorgerechtshof, maka B.Rv yang ini sudah tidak berlaku lagi. Akan tetapi banyak hal dalam B.Rv yang masih relevan dengan perkembangan hukum serta untuk mengisi kekosongan hukum, maka ketentuan dalam B.Rv masih banyak dipakai dalam pelaksanaan hukum acara di lingkungan Peradilan Umum. Seperti formulasi surat gugatan, perubahan surat gugat, intervensi dan lainnya.
2. Inlandsch Reglement (IR)
Ketentuan hukum acara ini digunakan bagi golongan Bumiputera dan Timur Asing yang menduduki wilayah Jawa dan Madura. Setelah beberapa kali perubahan dan penambahan ketentuan hukum acara ini diubah menjadi Herziene Inlandsch Reglement (HIR) atau disebut juga Reglement Indonesia yang diberlakukan dengan Stbl. 1848 No. 16 dan Stbl. 1941 No. 44.
3. Voor De Buitengewesten (R.Bg)
Ketentuan hukum acara ini digunakan bagi golongan Bumiputera dan Timur Asing yang menduduki wilayah di luar Jawa dan Madura yang berperkara dihadapan landraad. R.Bg ini ditetapkan berdasarkan Ordonasi tanggal 11 Mei 1927 dan berlaku berdasarkan Stbl. 1927 tanggal 01 Juli 1927 yang dikenal dengan “Reglement Daerah Seberang”.
4. Burgerlijk Wetboek Voor Indonesia (BW)
Dalam bahasa Indonesia disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, terdapat juga sumber Hukum Acara Perdata khususnya buku IV tentang Pembuktian (pasal 1865 s/d 1993).
5. Wetboek van Koophandel (WvK)
WvK dalam bahasa Indonesia dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, terdapat juga sumber Hukum Acara Perdata sebagai sumber penerapan acara dalam praktek peradilan.
WvK ini diberlakukan dengan Stbl. 1847 No. 23 kaitannya dengan Hukum Acara Perdata diatur dalam Failissements Verordering (aturan kepailitan) yang diatur dalam Stbl. 1906 No. 348.
6. Peraturan Perundang-Undangan:
a. Undang-Undang No. 20 Tahun 1947 tentang Acara Perdata dalam hal banding bagi Pengadilan Tinggi di Jawa, Madura sedangkan untuk di luar daerah Jawa/Madura diatur dalam Pasal 199-205 R.Bg;
b. Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang telah diubah menjadi UU No. 35 Tahun 1999 dan diubah lagi dengan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman;
c. Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung RI yang telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, yang memuat tentang Acara Perdata dan hal-hal yang berhubungan dengan asasi dalam proses berperkara di mahkamah Agung RI;
d. Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Dalam UU ini diatur tentang Susunan dan Kekuasaan Peradilan di lingkungan Peradilan Umum serta prosedur beracara di lingkungan Peradilan Umum;
e. Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan PP No. 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan tersebut;
f. Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Pada pasal 54 dikemukakan bahwa hukum acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Agama adalah sama dengan acara perdata yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum, kecuali ketentuan-ketentuan khusus yang telah diatur dalam Undang-Undang tersebut;
g. Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Instruksi Pemasyarakatan Kompilasi Hukum Islam yang terdiri atas 3 buku, yaitu hukum perkawinan, kewarisan dan perwakafan.
7. Yurisprudensi
Dalam kamus Fockema Andrea sebagaimana dikutip Lilik Priyadi, SH. (1998: 14) dikemukakan bahwa:
Yurisprudensi adalah pengumpulan yang sistematis dari Keputusan Mahkamah Agung dan keputusan pengadilan Tinggi yang diikuti oleh hakim lain dalam memberikan keputusan sosial yang sama.
Hakim tidak boleh terikat pada putusan yurisprudensi tersebut, sebab negara Indonesia tidak menganut asas “the binding force of precedent”, jadi bebas memilih antara meninggalkan yurisprudensi dan memakai dalam suatu perkara yang sejenis yang telah mendapat putusan sebelumnya.
8. Surat Edaran Mahkamah Agung RI
Sepanjang Surat Edaran dan Instruksi mahkamah Agung menyangkut Hukum Acara Perdata dan Hukum Perdata Materiil, maka dapat dijadikan sumber hukum acara dalam praktek Peradilan Agama terhadap suatu perkara yang dihadapi oleh hakim.
Kewenangan Mahkamah Agung dalam hal ini disebutkan dalam Undang-Undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa Mahkamah Agung RI berhak melakukan pengawasan atas perbuatan pengadilan yang berada di bawahnya berdasarkan ketentuan Undang-Undang.
9. Doktrin dan Ilmu Pengetahuan Hukum
Doktrin atau Ilmu Pengetahuan Hukum merupakan hukum acara juga, hakim dapat mengadili Hukum Acara Perdata. Doktrin merupakan pendapat para sarjana hukum yang dapat dijadikan sumber hukum dalam lingkungan peradilan. Doktrin bukanlah hukum, melainkan sumber hukum.
Sebelum berlakunya Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, doktrin banyak dipakai hakim Peradilan Agama dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara, terutama ilmu pengetahuan hukum yang tersebut dalam kitab-kitab fiqh.
Berdasarkan Surat Edaran Biro Peradilan Agama Departemen Agama No. B/1/1735 tanggal 18 Februari 1958 sebagai pelaksana Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama di luar Jawa dan Madura dikemukakan bahwa untuk mendapatkan kesatuan hukum dalam memeriksa dan memutuskan suatu perkara, maka para hakim agama dianjurkan untuk merujuk kepada kitab-kitab fiqh yang telah disebut di atas sebagai pedoman dalam mengadili dan menyelesaikan perkara yang diajukan pada lingkungan peradilan Agama.
Dengan melihat begitu Sumber Hukum Acara Peradilan Agama, nampak kini bahwa dalam beracara di muka Peradilan Agama tidak semudah apa yang dibayangkan, bahkan lebih sulit beracara di muka Peradilan Umum. Seseorang harus memahami secara benar dan baik hukum acara yang termuat dalam Undang-Undang No. 7 tahun 1989 sebagai Ketentuan Khusus. Selanjutnya orang harus memahami dan mengerti pula terhadap aturan-aturan Hukum Acara Perdata yang digunakan di muka Peradilan Umum sebagai Ketentuan Umumnya. Selain itu harus memahami bgaiamana cara mewujudkan hukum maretial Islam melalui hukum proses Islam.
P E N U T U P
A. Kesimpulan
Sebelum Tahun 1991 M yaitu sebelum lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI ), Hukum Materiil Peradilan Agama merupakan hukum yang tidak tertulis, karena masih berserakan di berbagai kitab-kitab fiqh yang disebutkan sebanyak 13 kitab pada tahun 1958. (Al-Bajuri, Fatkhul Mu’in, Syarqawi Alat Tahrir, Qalyubi wa Umairah/Al-Mahalli, Fatkhul Wahhab, Tuhfah, Taghrib Al-Mustaq, Qawanin Syari’ah Li Sayyid bin Yahya, Qawanin Syari’ah Li Sayyid Shodaqah, Syamsuri lil Fara’id, Bughyatul Musytarsydin, Al-Fiqh al-Mazahib Al-Abra’ah dan Mughni Al-Muhtaj).
Sebagaimana hukum materiil, demikian pula hukum formil. Sebelum lahirnya Undang-Undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Hukum Acara Peradilan Agama masih mengambil dari kitab-kitab fiqh, karena kemungkinan adanya perbedaan dalam penerapan antara satu pengadilan dengan pengadilan lain.
Hukum Acara yang berlaku di Peradilan Agama adalah Hukum Acara yang berlaku di Peradilan Umum, yaitu HIR dan R.Bg., kecuali hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang peradilan Agama dan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
B. Saran
Melihat begitu kompleks permasalahan umat mengenai perkara yang dibawah kewenangan Peradilan Agama, maka sumber hukumnya haruslah jelas dan terperinci (tertulis). Karena sumber hukum tidak tertulis tidak mempunyai kekuatan autentik dan bersifat lemah dihadapan peradilan manapun.
Sebaiknya segera diamandemen dalam arti disesuaikan aantara Peraturan Perundang-Undangan yang sudah lama dan tidak relevan lagi/tidak sesuai dengan permasalahan yang terjadi di masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Bahan Penyuluhan Hukum, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Departemen Agama RI Tahun 2001.
Djalil, Basiq, Peradilan Agama di Indonesia, Gemuruhnya Politik Hukum (Hk. Islam, Hk. Barat dan Hk. Adat) dalam Rentang Sejarah bersama pasang surut Lembaga Peradilan Agama hingga lahirnya peradilan Syari’at Islam Aceh, Kencana Prenada Media Group: Jakarta, 2006.
Kansil, C.S.T., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum di Indonesia, Balai Pustaka: Jakarta, 1982.
Rasyid, A. Roihan, Hukum Acara Peradilan Agama, Radja Grafindo Persada: Jakarta, 2003.
Sanusi, Achmad, Rangkaian Sari Kuliah Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Tata Hukum Indonesia, PT. Tarsit: Bandung, 1977.
Soedikno, Mertokusumo, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Liberty: Yogyakarta, 1988
Subekti, Hukum Acara Perdata, Bina Cipta: Bandung, 1977.
________, Undang-Undang RI No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Senin, 16 November 2009
Ushul Fiqh (Qiyas)
QIYAS
1. Pengertian Qiyas
Qiyas menurut bahasa ialah pengukuran sesuatu dengan yang lainnya atau penyamaan sesuatu dengan yang sejenisnya. Ulama ushul fiqh memberikan defenisi yang berbeda-beda tergantung pada pandangan mereka terhadap kedudukan qiyas dan istinbath hukum. Dalam hal ini mereka terbagi atas dua golongan yaitu:
Golongan Pertama,menyatakan bahwa qiyas merupakan ciptaan manusia, yaitu pandangan mujtahid. Sebaliknya, menurut golongan kedua, qiyas merupakan ciptaan syari’, yaitu merupakan dalil hukum yang berdiri sendiri atau merupakan hujjat ilahiyah yang dibuat syari’ sebagai alat untuk mengetahui suatu hukum.[1]
Menurut ulama ushul, Al Qiyas berarti menyamakan suatu kejadian yang tidak ada nash kepada kejadian lain yang ada nashnya pada nash hukum yang telah menetapkan lantaran adanya kesamaan diantara dua kejadian itu dalam illat (sebab kejadiannya) hukumnya. Pengertiannya menurut bahasa arab adalah mengukur sesuatu (benda) dengan sesuatu yang lain yang bisa menyamainya, qiyas diartikan menyamakan, artinya menyamakan diantara dua benda.[2]
Secara bahasa, qiyas merupakan bentuk masdar dari kata qasa- yaqisu, yang artinya ukuran, mengetahui ukuran sesuatu. Misalnya, “Fulan mengqiyaskan baju dengan lengan tangannya”, artinya mengukur baju dengan lengan tangannya; artinya membandingkan antara dua hal untuk mengetahui ukuran yang lain. Secara bahasa juga berarti “menyamakan”, dikatakan “Fulan mengqiyaskan extasi dengan minuman keras”, artinya menyamakan antara extasi dengan minuman keras.[3]
Dalam perkembanganya, kata qiyas banyak digunakan sebagai ungkapan dalam upaya penyamaan antara dua hal yang berbeda, baik penyamaan yang berbentuk inderawi, seperti pengkiasan dua buah buku. Atau maknawiyah, misalnya “Fulan tidak bisa dikiaskan dengan si Fulan”, artinya tidak terdapat kesamaan dalam ukuran.
Selain defenisi diatas masih banyak definisi lainnya yang dibuat oleh para ulama mengenai qiyas diantaranya ialah:
1. Menurut Drs. Beni Ahmad Saebani, M.S.I, bahwa qiyas Berasal dari kata qasa-yaqisu-qiyasan, artinya mengukur dan ukuran. Kata qiyas diartikan ukuran sukatan, timbangan, dan lain-lain yang searti dengan itu, atau pengukuran sesuatu dengan yang lainnya atau penyamaan sesuatu dengan yang sejenisnya.
2. Menurut Dra. Hj. Imaning Yusuf, M.Hum, qiyas ialah mempersamakan hukum peristiwa yang belum ada ketentuannya dengan hukuim peristiwa yang sudah ada ketentuannya, karena antara kedua peristiwa terdapat segi-segi persamaan dalam illat hukumnya.
3. Menurut Asywad Syukur, bahwa qiyas menurut arti bahasa adalah ukuran atau perbandingan, dan menurut para fuqaha adalah untuk menamakan sesuatu proses diduksi melalui yang disebutkan oleh nash hukum terhadap yang tidak tercantum dalam bahasanya dan yang tidak diatur menurut pengertian nash.
4.
5. Menurut Wael B Halaq, bahawa qiyas ialah bentuk argumen yang dikelompokkan dalam analogi, yang merupakan pola dasar dari semua argumen hukum. Sebenarnya, argumen analogi yang dipakai dalam hukum, dalam pikiran sebagai teolog dan faqih, menjadi pola dasar dari semua argumen logis, mencakup silogisme, silogisme kategoris dianggap secara epistimologis sama dengan dan kurang (argumentatif) ketimbang analogi hukum.
6. Menurut Syekh Abdul Wahab Khallaf, bahwa qiyas dalam istilah ushul yaitu menyusul peristiwa yang tidak terdapat nash hukumnya dengan peristiwa yang terdapat nash bagi hukumnya. Dalam hal hukum yang terdapat nash untuk menyamakan dua peristiwa pada sebab hukum ini.
7. Menurut Rizal Qosim, arti qiyas menurut bahasa ialah mempersamakan sesuatu. Sedang menurut istilah berarti menetapkan hukum sesuatu perbuatan yang belum ada ketentuannya, berdasarkan sesuatu yang sudah ada ketentuan hukumnya.
8. Menurut Sadr al-Syari’ah, tokoh ushul fiqh Hanafi mengemukakan bahwa qiyâs adalah Memberlakukan hukum asal kepada hukum furu’ disebabkan kesatuan illat yang tidak dapat dicapai melalui pendekatan bahasa saja. Maksudnya, ‘illat yang ada pada satu nash sama dengan ‘illat yang ada pada kasus yang sedang dihadapi seorang mujtahid, karena kesatuan ‘illat ini, maka hukum kasus yang sedang dihadapi disamakan dengan hukum yang ditentukan oleh nash tersebut.
9. Menuurut DR. Wahbah al-Zuhaili mendefinisikan qiyâs dengan menyatukan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam nash dengan sesuatu yang disebutkan hukumnya oleh nash, disebabkan kesatuan illat antara keduanya.
10. Menurut Imam Baidhowi dan mayoritas ulama Syafi’iyyah mendefinisikan bahwa qiyas Membawa (hukum) yang (belum) di ketahui kepada (hukum) yang diketahui dalam rangka menetapkan hukum bagi keduanya, atau meniadakan hukum bagi keduanya, baik hukum maupun sifat.
Dari definisi diatas dapat kita simpulkan secara umum bahwa qiyas ialah suatu proses penyingkapan kesamaan hukum suatu kasus yang tidak disebutkan dalam suatu nash, dengan suatu hukum yang disebutkan dalam nash karena adanyakesamaan dalam illatnya.
B. Kedudukan Qiyas Dan Kehujjahan Qiyas
Hujjah secara bahasa artinya petunjuk atau bukti, adapun arti qiyâs sebagai hujjah adalah petunjuk atau bukti untuk mengetahui beberapa hukum syar’i. Sedangkan arti hujjiyatul qiyâs sendiri adalah bahwa qiyâs merupakan dasar dari dasar-dasar pensyareatan dalam hukum-hukum syar’i’ praktis.[4] Ulama ushul fiqih berbeda pendapat terhadap kehujjahan qiyas dalam menetapkan hukum syara’. Tetapi mereka sepakat bahwa qiyâs bisa dijadikan sebagai hujjah dalam perkara-perkara duniawi, sebagaimana pula mereka sepakat kehujjahan qiyâs Nabi Saw.
Qiyas dalam sumber hukum Islam menduduki kedudukan keempat diantara hujah syar’iyah yang ada. Ketiga yang lainnya adalah al-Qur’an, hadits, dan ijma’. Mengqiyaskan sesuatu yang tidak ada nashnya (al-Qur’an dan hadits), terlebih dahulu harus melalui penelaahan terhadap ijma’. Apabila tidak diketahui atau tidak ada, pemecahannya melalui qiyas. Bagi ulama yang menggunakan qiyas dalilnya berdasarkan firman Allah swt,
$pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãè‹ÏÛr& ©!$# (#qãè‹ÏÛr&ur tAqß™§�9$# ’Í<'ré&ur Í�öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt“»uZs? ’Îû &äóÓx« çnr–Šã�sù ’n<Î) «!$# ÉAqß™§�9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöqu‹ø9$#ur Ì�ÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎ö�yz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ
Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.(Q.S. an-Nisa : 59)
Dalil diatas dijadikan hujjah (alasan) sebagai sumber dalil qiyas karena terdapat perintah untuk menyelesaikan persoalan dengan kembali merujuk pada al-Qur’an, hadits, dan kesepakatan ulil amri. Artinya tidak diragukan lagi bahwa menghubungkan kejadian yang tidak ada nashnya lantaran kesamaan illat hukum, termasuk mengembalikan kejadian yang tidak ada nash dari Allah dan Rosulnya, berarti taat kepada hukum Allah swt.
Menurut madzhab Nizamiah, Zahiriah dan ada beberapa cabang dari syi’ah mengatakan bahwa qiyas itu tidak boleh dijadikan hujjah syar’i terhadap hukum. Mereka ini meniadakan qiyas. Orang yang menetapkan qiyas itu dapat dijadikan hujjah, karena berdalilkan al-Qur’an, sunah, perkataan dan perbuatan para sahabat dan dengan ma’qul (hasil dari pendapat-pendapat). Diantaranya yaitu al-Quran
Sedangkan qiyas yang didasarkan hadits Nabi saw, yang berupa dialog antara beliau dengan Muaz bin Jabal pada waktu ia akan diutus ke Yaman.
Artinya :
”Bagaimana engkau akan memutuskan, jika kepadamu diserahkan urusan peradilan? Ia menjawab, “aku akan memutuskannya dengan kitab Allah.” Bertanya lagi Rosulullah, “Apabila kamu tidak jumpai dalam Kitabullah?” Ia mrnjawab, “Dengan sunah Rosulullah saw.” Lalu, Rosulullah bertanya lagi, “Apabiala kamu tidak mendapati dalam sunah Rosulullah dan tidak pula dalam Kitabullah?” Ia menjawab, “Aku melakukan ijtihad bir-ra’yi dan aku tidak akan mengurangi (dan tidak berlebi-lebihan). Berkatalah Muaz, “Maka Rosulullah menepukdadku dan bersabda, “segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada utusan Rosulullah, sebagimana Rosulullah telah meridhoi,” (H.R. at-Tirmidzi)
Hadits diatas menunjukan bagi mujtahid untuk menyelesaikan masalah dengan ketentuan diluar sumber utama hukum Islam (al-Qur’an dan Hadits), sejauh tidak diketemukan hukum dalam keduanya dengan melakukan ijtihad berupa apapun termasuk menggunakan qiyas.
Dalil ketiga adalah dalil rasionalitas akal, nash dan hadits Rosulullah saw adalah dua sumber hukum Islam yang tidak dapat bertambah dan berkurang. Sementara itu, persoalan dunia selalu bertambah dan makin banyak. Sudah tentu persoalan-persoalan baru itu menghendaki penyelesaian dan kesudahan. Oleh karena itu, melalui cara ijtihad qiyas, persoalan diharapkan terbantu terselesaikan sesuai dengan masdaru at-tasyri’ al-islamy tasyr’ (tujuan hukum Islam).
C. Rukun Qiyas
Dari pengertian qiyas yang dikemukakan diatas dapat disimpulkan bahwa unsur pokok (rukun) qiyas terdiri atas empat unsur yaitu sebagai berikut:
1. Ashl (pokok) yaitu suatu peristiwa yang sudah ada nashnya yang dijadikan tempat mengqiyaskan. Ini berdasarkan pengertian ashl menurut fuqaha. Sedangkan ashl menurut hukum teolog adalah suatu nash atau syara’ yang menunjukan ketentuan hukum, dengan kata lain, suatu nash yang menjadi dasar hukum. Ashl itu disebut juga maqis alaih (yang dijadikan tempat mengqiyaskan), mahmul alaih (tempat membandingkan), musyabbah bih (tempat menyerupakan).
2. Far’u (cabang) yaitu peristiwa tang tidak ada nashnya. Far’u itulah yang dikehendaki untuk disamakan hukumnya dengan ashl. Ia disebut juga maqis (yang dianalogikan), musyabbah (yang diserupakan). Al-far’u disyaratkan:
a). Belum ada hukumnya, baik berdasarkan nash maupun ijma’,
b). Mempunyai persamaan illat,
c). Datangnya lebih akhir dari al-ashl.
3. Hukumu’lashl, yaitu hukum syara’, yang ditetapkan oleh suatu nash.
4. Illat yaitu suatu sifat yang terdapat pada ashl. Dengan adanya sifat itulah, ashl mempunyai suatu hukum, dan dengan sifat itu pula, terdapat cabang, sehingga hukum cabang itu disamakan dengan hukum ashl.
Dua rukun yang pertama tersebut, al-ashl dan al-far’u, merupakan dua kejadian atau dua tempat atau hal. Yang pertama (al-ashl) ada nash yang menunjukan suatu hukum, sedang yang kedua tidak ada nash yang menunjukan suatu hukum. Pada dua rukun tersebut tidak disyaratkan dengan beberapa syarat, kecuali hukum ashl (asal) itu tetap dengan nash. Tidak pulamelalui ijma’, dan tidak ada penghalang untuk menyamakan rukun-rukun tersebut dalam hal hukumnya.
Mengenal rukun yang ketiga, yaitu hukmul’ashl (hukum asal) ketika orang menyamakan hukum cabang harus dibarengi dengan beberapa syarat. Sebab, tidak semua hukum syara’ yang terdapat dalam nash mengenal suatu kejadian dapat disamakan dengan kejadian lain melalui al-qiyas (kiyas). Hukum yang disamakan kepada cabang dengan jalam qiyas itu harus memenuhi syarat-syaratnya:
1. Merupakan hukum syara’ ‘amaliyah yang ditetapkan nash. Mengenai hukum syara’’amaliyah yang ditetapkan ijma’, maka dalam hal menyamakan hukumnya kepada cabang ada dua pendapat:
a). Menyamakannya tidak sah. Pendapat ini merupakan pendapat yang layak dianggap benar. Sebab ijma’ itu harus disertai dengan hukum yang telah disepakati dasarnya. Dan orang yang merubah tempat bersandarnya hukum tidak bias mempersamakan illat hukum yang sudah menjadi kesepakatan, atau ijma’ menurut istilah ahli ushul.
b). Menyamakan adalah sah. Asy-Syaukani mengatakan, pendapat ini adalah pendapat yang paling benar diantara dua pendapat yang ada. Mengenai hukum syara’ yang ditetapkan berdasarkan qiyas, maka dianggap tidak sah mempersamaknnya. Sebab, jiaka cabang melalui qiyas, illatnya menyamakan sesuatu yang telah ditetapkan hukumnya berarti menyamai suatu kejadian yang terddapat nash nya. Dan hukum sesuatu yang disamakan dengan jalan qiyas adalah nash. Dan jika illatnya tidak sama, maka menyamakan hukumnya pun tidak sah.
2. Illat yang ada pada hukum asal itu hendaknya dapat terjangkau akal. Sebab, kalau akal tidak bisa mengetahui illatnya berarti tidak bisa melakukan persamaan dengan jalan qiyas. Hal ini lantaran dasar dari pada qiyas adalah diketahuinya illat hukum asal, dan mengetahui perwujudan illat pada cabang. Syarat-syarat ini dikemukakan lantaran hukum-hukum syara’ ‘amaliyah disyari’atkan untuk kemaslahatan umat manusia, disamping karena illat dijadikan dasar hukum. Jadi hukum tidak disyari’atkan tanpa adanya illat.
3. Hukum asal yang tidak ditakhshish (dikhususkan) karena jika hukum asal itu dikhususkan berarti tidak bisa disamakan kepada lainnya dengan jalan qiyas. Karenanya, hal-hal yang disebutkan terdahulu merupakan dalil-dalil hukum yang khusus berlaku bagi Nabi dan Huzaimah.
Rukun yang keempat adalah illat. Rukun ini merupakan rukun terpenting lantaran illat merupakan dasar adanya qiyas, yang pembahasannya merupakan bagian terpenting.[6]
Antara illat hukum dan sebab hukum tidak terdapat batasan yang jelas dan tegas. Illat hukum masih diperdebatkan diantara para ulama. Al-Ghazali mengatakan bahwa illat masih bersifat umum sekali. Untuak sekedar pengetahuan awal, dapat diketahui bahwa illat pada dasarnya adalah alasan yang mendorong dilakukannya suatu perbuatan baru atau hukum baru yang mengikutinya, seperti dalam contok keharaman khamar, yaitu arak menjadi haram karena alasan illat memabukkan, seperti khamar.[7]
D. Macam-Macam qiyas
Qiyas sebagai metode mencari hukum dalam persoalan-persoalan far’u (persoalan yang tidak ada nash dalam al-Qur’an dan hadits), terbagi menjadi dua bagian, yaitu qiyas awlawi dan musawi:
1) Qiyas Awlawi
Qiyas Awlawi adalah sesuatu yang tidak disebut (tersirat) lebih utama dari sesuatu yang disebut (tersurat). Contoh larangan menggunakan kata ah kepada orang tua dan larangan membentak. Firman Allah:
Ÿxsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é& Ÿwur $yJèdö�pk÷]s? @è%ur $yJßg©9 Zwöqs% $VJƒÌ�Ÿ2 ÇËÌÈ
Artinya:
…………Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia[850]. (Q.S. al-Isra’ : 23)
[850] Mengucapkan kata Ah kepada orang tua tidak dlbolehkan oleh agama apalagi mengucapkan kata-kata atau memperlakukan mereka dengan lebih kasar daripada itu.
Illat dari kata pelarangan berkata ah kepada orang tua adalah kata ah merupakan kata yang menyakitkan bagi orang tua,. Oleh karena itu, setiap perbuatan yang menyakiti orang tua dilarang oleh Allah swt, seperti memarahi, meludahi, memukul dan mengacuhkan orang tua. Contoh-contoh tersebut adalah far’u (cabang) dan ashlnya adalah ah dan membentak, seperti dalam firman Allah swt diatas.
2) Qiyas Musawi
Qiyas Musawi adalah sesuatu yang tidak disebut sejajar dengan sesuatu yang disebut. Untuk memahami dengan mudah pengertian qiyas musawi, perhatikan contoh keterangan berikut.
Dalam qiyas musawi sesuatu yang tidak disebut itu sepadan (sama) dengan sesuatu yang disebutkan dalam nash.
Firman Allah swt:
¨bÎ) tûïÏ%©!$# tbqè=à2ù'tƒ tAºuqøBr& 4’yJ»tGuŠø9$# $¸Jù=àß $yJ¯RÎ) tbqè=à2ù'tƒ ’Îû öNÎgÏRqäÜç/ #Y‘$tR ( šcöqn=óÁu‹y™ur #ZŽ�Ïèy™ ÇÊÉÈ
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).(Q.S. an-Nisa : 10)
Dalam ayat diatas, secara jelas terdapat larangan untuk memakan harta anak yatim dengan cara yang zalim. Tafsiran para ulama terhadap kata (ya’kulu) dalam ayat tersebut bermakna merusak (itlaf). Harta yang habis dimakan sama dengan harta yang habis karena rusak. Maksudnya, sama-sama habisnya. Oleh sebab itu, para ulama sepakat bahwa merusak harta anak yatim adalah haram. Jelasnya yang disebut dalam nash adalah memakan harta nak yatim dengan cara zalim, tetapi yang dimaksud adalah larangan merusak harta anak yatim.
3) Qiyas Adna
Adalah qiyas yang tingkatan ‘illat hukum pada far’u-nya lebih rendah dari ashlu. Seperti ‘illat memabukkan yang terdapat pada nikotin; lebih rendah dari ‘illat memabukkan pada khamer.
E. Contoh Qiyas
1. Qiyas keharaman extasy/pil koplo/narkotika.
Hukum mengkonsumsi extasy atau pil koplo tidak tertulis secara eksplisit di dalam al-Qur’an ataupun hadist. Namun dalam al-Qur’an surat al-Maidah ayat 90, Allah Swt berfirman:
$pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä $yJ¯RÎ) ã�ôJsƒø:$# çŽÅ£øŠyJø9$#ur Ü>$|ÁRF{$#ur ãN»s9ø—F{$#ur Ó§ô_Í‘ ô`ÏiB È@yJtã Ç`»sÜø‹¤±9$# çnqç7Ï^tGô_$$sù öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÒÉÈ
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (minum) khamr; berjudi, menyembah patung dan mengundi nasib dengan anak panah tidak lain hanyalah suatu yang kotor, termasuk perbuatan syaitan, karena itu hendaklah kamu jauhi agar kamu mendapat keberuntungan." (al-Mâidah: 90)
Pada ayat diatas, Allah menerangkan keharaman minum khamer. Maka metode qiyas dapat digunakan untuk menetapkan hukum mengkonsumsi extasy atau narkotika;
~ Al-Ashlu: minuman keras atau khamer
~ hukum asli: haram
~ Al-far’u: extasy
~ Al-‘illah: memabukkan,
Dari rincian di atas, dapat disimpulkan bahwa antara extasy dan minum khamer terdapat persamaan dalam ‘illah, yaitu sama-sama memabukkan sehingga dapat merusak akal. Jadi dapat disimpulkan bahwa mengkonsumsi extasy atau narkotik hukumnya haram, sebagaimana haramnya minum khamer.[8]
F. Penutup
Berbagai masalah qiyas yang begitu panjang dibahas oleh para ulama, pada masa sekarang ini sudah selayaknya untuk langsung dihadapkan dengan realitas umat. Karena sesempurna apapun sebuah konsep, tetapi tanpa adanya realisasi nyata, maka hanya akan sia-sia tersimpan sebagai sebuah literatur.
"Bagaimana (cara) kamu menetapkan hukum apabila dikemukakan suatu peristiwa kepadamu? Mu’adz menjawab: Akan aku tetapkan berdasar al-Qur’an. Jika engkau tidak memperolehnya dalam al-Qur’an? Mu’adz berkata: Akan aku tetapkan dengan sunnah Rasulullah. Jika engkau tidak memperoleh dalam sunnah Rasulullah? Mu’adz menjawab: Aku akan berijtihad dengan menggunakan akalku dengan berusaha sungguh-sungguh. (Mu’adz berkata): Lalu Rasulullah menepuk dadanya dan berkata: Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk petugas yang diangkat Rasulullah, karena ia berbuat sesuai dengan yang diridhai Allah dan Rasul-Nya." (HR. Ahmad Abu Daud dan at-Tirmidzi)
[1] Prof. Dr. Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih,
[2] Dr. Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh,
[3] Dr. Shaleh Zaidân, Hujjiyatul Qiyâs, Dâr al-Shahwah, Hilwan, Kairo, cet. I. 1987, hlm 13.
[4] Dr. Wahbah Zuhaili, Usul al-Fiqh al-Islâmi, Dâr al-Fikr, Damsyiq, juz. II. 2005, hal. 577
[5] Syekh abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih,
[6] Ibid, hlm 107-110
[7] Rizal Qosim, Pengalaman fiqih 3,
[8] Prof. Dr. Abdul Karim Zaidan, al-Wajîz fiy Usuli al-Fiqh, Muassisatu al-Risalah, Beirut, 1996, hal. 195