PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan dalam Pasal 24 ayat (2) bahwa Peradilan Agama merupakan salah satu lembaga di lingkungan Peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung bersama Badan Peradilan lainnya di lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Militer. Peradilan Agama merupakan Badan Peradilan pelaku kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan penegakan hukum dan keadilan bagi rakyat pencari keadilan suatu perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shodaqah dan ekonomi syari’ah. Dengan penegasan kewenangan Peradilan Agama tersebut dimaksudkan untuk memberikan dasar hukum kepada Pengadilan Agama dalam menyelesaikan perkara tertentu, termasuk aturan pelaksanaannya serta memperkuat landasan hukum Mahkamah Syari’ah dalam melaksanakan kewenangannya di bidang jinayah berdasarkan qanun.
Untuk melaksanakan tugas pokok Peradilan Agama yaitu menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan setiap perkara serta menegakkan hukum dan keadilan, maka Peradilan Agama membutuhkan sumber hukum yang dijadikan pedoman (patokan) dalam memutuskan perkara yang diajukan kepadanya. Baik itu berupa sumber hukum materil maupun sumber hukum formil.
B. Rumusan Masalah
Melihat begitu kompleksnya perkara yang dihadapkan pada Peradilan Agama di Indonesia, perlu diangkat mengenai sumber-sumber hukum yang dijadikan pedoman dalam setiap putusan di lingkungan Peradilan Agama, yaitu:
Sumber hukum apa saja yang dijadikan pedoman Peradilan Agama dalam menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara yang dihadapinya untuk mewujudkan penegakan hukum dan keadilan?
SUMBER HUKUM PERADILAN AGAMA
Sumber hukum adalah segala aturan perundang-undangan yang bersifat mengatur dan mempunyai kekuatan hukum yang dapat dijadikan rujukan/patokan dalam lingkungan peradilan baik dalam Peradilan Umum maupun Peradilan Agama dalam memutuskan suatu perkara. Dalam lingkungan Peradilan Agama di Indonesia, sumber hukum yang dipakai atau dijadikan rujukan dalam memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan secara garis besar terbagi menjadi dua; yaitu sumber hukum materil dan sumber hukum formil (hukum acara).
A. Hukum Materil Peradilan Agama
Hukum Materiil Peradilan Agama merupakan semua kaidah-kaidah hukum yang mengatur dalam Islam yang kemudian disebut dengan fiqh. Menurut perjalanan sejarah peradilan agama yang berjalan pada masa lalu mengalami pasang surut, hal ini disebabkan adanya pengaruh-pengaruh politik, pemerintahan dan ekonomi pada masa kolonial Belanda. Selain itu sumber hukum meteriil selama ini bukanlah hukum yang tertulis sebagaimana hukum positif, serta berserakan dalam berbagai kitab ulama karena dari segi sosiokultural banyak mengandung khilafiyah (perbedaan), sering menimbulkan perbedaan ketentuan hukum mengenai masalah yang sama antara daerah satu dengan yang lain. Sehingga untuk menengahi banyaknya perbedaan tersebut dikeluarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 1954 tentang Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk sebagai patokan bersama. Undang-Undang ini kemudian ditindaklanjuti dengan Surat Biro Peradilan Agama No. B/1/735 Tanggal 18 Februari 1958 yang merupakan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Peradilan Agama di luar Jawa dan Madura.
Banyak terjadi perbedaan tentang keberadaan sumber hukum materiil Peradilan Agama yang tidak tertulis ini, untuk itu sesuai Surat Biro di atas ditetapkan 13 kitab fiqh Islam yang digunakan sebagai rujukan dalam memeriksa dan memutuskan perkara di lingkungan Peradilan Agama. Meskipun demikian banyak yang berpendapat hukum positif adalah hukum yang harus tertulis, sehingga hal ini dilegalisasi oleh Ketentuan Pasal 27 Ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman bahwa seorang hakim mengadili, memahami dan mengikuti nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Ketentuan ini disahkan tanggal 17 Desember 1970, namun secara riil Pengadilan Agama sesuai dengan ketentuan tersebut baru berjalan setelah adanya Skb. Mahkamah Agung dan Menteri Agama No. 01, 02, 03 dan 04 Tahun 1983 dan kemudian dikukuhkan dengan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Untuk menjembatani dua pendapat tersebut maka pada tanggal 02 Januari 1974 disahkan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Ketentuan ini didukung oleh Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, yang merupakan titik tolak awal pergeseran bagian hukum Islam menjadi hukum yang tertulis. Namun demikian masih banyak dari hukum perkawinan, kewarisan dan perwakafan yang tidak tertulis, sehingga banyak terjadinya perbedaan putusan di Peradilan Agama terhadap kasus dan masalah yang sama. Hal ini disebabkan pengambilan rujukan kitab-kitab fiqh yang berbeda-beda.
Begitu banyak kaidah-kaidah yang mengatur Islam secara kompleks, dengan didukung fiqh yang sangat toleran terhadap perkembangan zaman, Syari’at Islam begitu mudah dijalankan dalam menata kehidupan di dunia. Atas dasar itu dalam mewujudkan kepastian hukum baik dibidang perkawinan, kewarisan dan perwakafan menjadi hukum yang tertulis, maka Indonesia merintis Kompilasi Hukum Islam dengan SKB Mahkamah Agung RI dan Menteri Agama No. 07/KMA/1985 dan No. 25 Tahun 1985 Tanggal 25 Maret 1985 tentang Pelaksanaan Proyek Pembentukan Kompilasi Hukum Islam. Dimulai dengan inilah dilakukan pengumpulan data, wawancara dengan para ulama’, melakukan lokakarya dan hasil kajian, menelaah kitab-kitab dan studi banding dengan negara-negara lain. Setelah data-data terkumpul dan diolah dan menjadi naskah kompilasi diajukan oleh Menteri Agama kepada Presiden pada tanggal 14 Maret 1988 dengan Surat No. MA/123/1988 tentang pembentukan Kompilasi Hukum Islam guna memperoleh landasan yuridis sebagai pedoman untuk menyelesaikan perkara yang diajukan pada lingkungan Peradilan Agama di Indonesia.
Kebutuhan hukum Islam yang sangat mendesak, nampaknya Kompilasi Hukum Islam belum juga terbentuk sebagai undang-undang, sehingga muncullah Inpres. (Instruksi Presiden) No. 1 Tahun 1991 (tanggal 19 Juni 1991) tentang Penyebaran Kompilasi Hukum Islam. Dengan diikuti SK. Mahkamah Agung No. 154 Tahun 1991 yang intinya mengajak seluruh jajaran Departemen Agama dan Instansi Pemerintah lainnya untuk menyebarluaskan dan melaksanakan Kompilasi Hukum Islam yang berisikan hukum perkawinan, kewarisan dan perwakafan sebagai pedoman penyelesaian masalah-masalah hukum Islam yang terjadi dalam masyarakat.
B. Hukum Formil Peradilan Agama
Kata formil berarti “bentuk” atau “cara”, maksudnya hukum yang mengutamakan pada kebenaran bentuk dan kebenaran cara. Oleh sebab itu dalam beracara di muka pengadilan tidaklah cukup hanya mengetahui materi hukum saja tetapi lebih dari itu, harus lebih mengetahui dari bentuk dan cara yang sudah diatur dalam Undang-Undang. Keterikatan bentuk dan cara ini antara para pencari keadilan dan penegak hukum haruslah dikuatkan, sehingga dalam menjalankan beracara tidak bisa semaunya dan seenaknya.
Sejak masa Pemerintahan Belanda telah dibentuk Peradilan Agama di Jawa dan Madura dengan Stbl. 1882 No. 152jo. Stbl. 1937 No. 116 dan 610, di Kalimantan Selatan dengan Stbl. 1937 No. 638 dan 639, kemudian setelah Kemerdekaan RI, pemerintah membentuk Peradilan Agama di luar Jawa, Madura dan Kalimantan Selatan dengan PP No. 45 Tahun 1957. akan tetapi dalam kesemuanya itu tidak tertulis peraturan hukum acara yang harus digunakan hakim dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Sehingga dalam mengadili para hakim mengambil intisari hukum acara yang ada dalam kitab-kitab fiqh meskipun dalam penerapannya berbeda dalam putusan pengadilan satu dengan pengadilan agama lainnya. Sehingga sampai sekarang sumber hukum acara Peradilan Agama di Indonesia sama dengan Peradilan Umum yang berlaku.
Ketentuan hukum acara Peradilan Agama mulai ada sejak lahirnya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. PP No. 9 Tahun 1975 tentang peraturan pelaksanaannya. Baru berlaku sejak diterbitkannya UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang di dalamnya mengatur Susunan dan Kekuasaan Peradilan Agama, serta hukum acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Agama.
Hukum Acara Peradilan Umum untuk daerah Jawa-Madura adalah Herziene Inlandsch Reglement (HIR), di luar Jawa-Madura Rechtsreglement Voor De Buitengewesten (R.Bg), maka kedua aturan ini diberlakukan di lingkungan Peradilan Agama, kecuali hal-hal yang diatur secara khusus dalam UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Misalnya pembebanan biaya perkara pada pemohon/penggugat dengan alasan syiqaq, li’an dan ketentuan lainnya. Adapun sumber hukum acara yang berlaku di Peradilan Agama ataupun Peradilan Umum antara lain:
1. Reglement op de Burgerlijk Rechtsvordering (R.Bv)
Hukum acara ini diperuntukkan golongan Eropa yang berperkara dihadapan Raad van Justitie dan Residentie Gerecht. Ketentuan ini ditetapkan dengan Stbl. 1847 No. 52 dan Stbl. 1849 No. 63 yang berlaku sejak tanggal 01 Mei 1848.
Dengan dihapuskannya Raad van Justitie dan Hoorgerechtshof, maka B.Rv yang ini sudah tidak berlaku lagi. Akan tetapi banyak hal dalam B.Rv yang masih relevan dengan perkembangan hukum serta untuk mengisi kekosongan hukum, maka ketentuan dalam B.Rv masih banyak dipakai dalam pelaksanaan hukum acara di lingkungan Peradilan Umum. Seperti formulasi surat gugatan, perubahan surat gugat, intervensi dan lainnya.
2. Inlandsch Reglement (IR)
Ketentuan hukum acara ini digunakan bagi golongan Bumiputera dan Timur Asing yang menduduki wilayah Jawa dan Madura. Setelah beberapa kali perubahan dan penambahan ketentuan hukum acara ini diubah menjadi Herziene Inlandsch Reglement (HIR) atau disebut juga Reglement Indonesia yang diberlakukan dengan Stbl. 1848 No. 16 dan Stbl. 1941 No. 44.
3. Voor De Buitengewesten (R.Bg)
Ketentuan hukum acara ini digunakan bagi golongan Bumiputera dan Timur Asing yang menduduki wilayah di luar Jawa dan Madura yang berperkara dihadapan landraad. R.Bg ini ditetapkan berdasarkan Ordonasi tanggal 11 Mei 1927 dan berlaku berdasarkan Stbl. 1927 tanggal 01 Juli 1927 yang dikenal dengan “Reglement Daerah Seberang”.
4. Burgerlijk Wetboek Voor Indonesia (BW)
Dalam bahasa Indonesia disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, terdapat juga sumber Hukum Acara Perdata khususnya buku IV tentang Pembuktian (pasal 1865 s/d 1993).
5. Wetboek van Koophandel (WvK)
WvK dalam bahasa Indonesia dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, terdapat juga sumber Hukum Acara Perdata sebagai sumber penerapan acara dalam praktek peradilan.
WvK ini diberlakukan dengan Stbl. 1847 No. 23 kaitannya dengan Hukum Acara Perdata diatur dalam Failissements Verordering (aturan kepailitan) yang diatur dalam Stbl. 1906 No. 348.
6. Peraturan Perundang-Undangan:
a. Undang-Undang No. 20 Tahun 1947 tentang Acara Perdata dalam hal banding bagi Pengadilan Tinggi di Jawa, Madura sedangkan untuk di luar daerah Jawa/Madura diatur dalam Pasal 199-205 R.Bg;
b. Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang telah diubah menjadi UU No. 35 Tahun 1999 dan diubah lagi dengan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman;
c. Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung RI yang telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, yang memuat tentang Acara Perdata dan hal-hal yang berhubungan dengan asasi dalam proses berperkara di mahkamah Agung RI;
d. Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Dalam UU ini diatur tentang Susunan dan Kekuasaan Peradilan di lingkungan Peradilan Umum serta prosedur beracara di lingkungan Peradilan Umum;
e. Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan PP No. 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan tersebut;
f. Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Pada pasal 54 dikemukakan bahwa hukum acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Agama adalah sama dengan acara perdata yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum, kecuali ketentuan-ketentuan khusus yang telah diatur dalam Undang-Undang tersebut;
g. Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Instruksi Pemasyarakatan Kompilasi Hukum Islam yang terdiri atas 3 buku, yaitu hukum perkawinan, kewarisan dan perwakafan.
7. Yurisprudensi
Dalam kamus Fockema Andrea sebagaimana dikutip Lilik Priyadi, SH. (1998: 14) dikemukakan bahwa:
Yurisprudensi adalah pengumpulan yang sistematis dari Keputusan Mahkamah Agung dan keputusan pengadilan Tinggi yang diikuti oleh hakim lain dalam memberikan keputusan sosial yang sama.
Hakim tidak boleh terikat pada putusan yurisprudensi tersebut, sebab negara Indonesia tidak menganut asas “the binding force of precedent”, jadi bebas memilih antara meninggalkan yurisprudensi dan memakai dalam suatu perkara yang sejenis yang telah mendapat putusan sebelumnya.
8. Surat Edaran Mahkamah Agung RI
Sepanjang Surat Edaran dan Instruksi mahkamah Agung menyangkut Hukum Acara Perdata dan Hukum Perdata Materiil, maka dapat dijadikan sumber hukum acara dalam praktek Peradilan Agama terhadap suatu perkara yang dihadapi oleh hakim.
Kewenangan Mahkamah Agung dalam hal ini disebutkan dalam Undang-Undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa Mahkamah Agung RI berhak melakukan pengawasan atas perbuatan pengadilan yang berada di bawahnya berdasarkan ketentuan Undang-Undang.
9. Doktrin dan Ilmu Pengetahuan Hukum
Doktrin atau Ilmu Pengetahuan Hukum merupakan hukum acara juga, hakim dapat mengadili Hukum Acara Perdata. Doktrin merupakan pendapat para sarjana hukum yang dapat dijadikan sumber hukum dalam lingkungan peradilan. Doktrin bukanlah hukum, melainkan sumber hukum.
Sebelum berlakunya Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, doktrin banyak dipakai hakim Peradilan Agama dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara, terutama ilmu pengetahuan hukum yang tersebut dalam kitab-kitab fiqh.
Berdasarkan Surat Edaran Biro Peradilan Agama Departemen Agama No. B/1/1735 tanggal 18 Februari 1958 sebagai pelaksana Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama di luar Jawa dan Madura dikemukakan bahwa untuk mendapatkan kesatuan hukum dalam memeriksa dan memutuskan suatu perkara, maka para hakim agama dianjurkan untuk merujuk kepada kitab-kitab fiqh yang telah disebut di atas sebagai pedoman dalam mengadili dan menyelesaikan perkara yang diajukan pada lingkungan peradilan Agama.
Dengan melihat begitu Sumber Hukum Acara Peradilan Agama, nampak kini bahwa dalam beracara di muka Peradilan Agama tidak semudah apa yang dibayangkan, bahkan lebih sulit beracara di muka Peradilan Umum. Seseorang harus memahami secara benar dan baik hukum acara yang termuat dalam Undang-Undang No. 7 tahun 1989 sebagai Ketentuan Khusus. Selanjutnya orang harus memahami dan mengerti pula terhadap aturan-aturan Hukum Acara Perdata yang digunakan di muka Peradilan Umum sebagai Ketentuan Umumnya. Selain itu harus memahami bgaiamana cara mewujudkan hukum maretial Islam melalui hukum proses Islam.
P E N U T U P
A. Kesimpulan
Sebelum Tahun 1991 M yaitu sebelum lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI ), Hukum Materiil Peradilan Agama merupakan hukum yang tidak tertulis, karena masih berserakan di berbagai kitab-kitab fiqh yang disebutkan sebanyak 13 kitab pada tahun 1958. (Al-Bajuri, Fatkhul Mu’in, Syarqawi Alat Tahrir, Qalyubi wa Umairah/Al-Mahalli, Fatkhul Wahhab, Tuhfah, Taghrib Al-Mustaq, Qawanin Syari’ah Li Sayyid bin Yahya, Qawanin Syari’ah Li Sayyid Shodaqah, Syamsuri lil Fara’id, Bughyatul Musytarsydin, Al-Fiqh al-Mazahib Al-Abra’ah dan Mughni Al-Muhtaj).
Sebagaimana hukum materiil, demikian pula hukum formil. Sebelum lahirnya Undang-Undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Hukum Acara Peradilan Agama masih mengambil dari kitab-kitab fiqh, karena kemungkinan adanya perbedaan dalam penerapan antara satu pengadilan dengan pengadilan lain.
Hukum Acara yang berlaku di Peradilan Agama adalah Hukum Acara yang berlaku di Peradilan Umum, yaitu HIR dan R.Bg., kecuali hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang peradilan Agama dan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
B. Saran
Melihat begitu kompleks permasalahan umat mengenai perkara yang dibawah kewenangan Peradilan Agama, maka sumber hukumnya haruslah jelas dan terperinci (tertulis). Karena sumber hukum tidak tertulis tidak mempunyai kekuatan autentik dan bersifat lemah dihadapan peradilan manapun.
Sebaiknya segera diamandemen dalam arti disesuaikan aantara Peraturan Perundang-Undangan yang sudah lama dan tidak relevan lagi/tidak sesuai dengan permasalahan yang terjadi di masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Bahan Penyuluhan Hukum, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Departemen Agama RI Tahun 2001.
Djalil, Basiq, Peradilan Agama di Indonesia, Gemuruhnya Politik Hukum (Hk. Islam, Hk. Barat dan Hk. Adat) dalam Rentang Sejarah bersama pasang surut Lembaga Peradilan Agama hingga lahirnya peradilan Syari’at Islam Aceh, Kencana Prenada Media Group: Jakarta, 2006.
Kansil, C.S.T., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum di Indonesia, Balai Pustaka: Jakarta, 1982.
Rasyid, A. Roihan, Hukum Acara Peradilan Agama, Radja Grafindo Persada: Jakarta, 2003.
Sanusi, Achmad, Rangkaian Sari Kuliah Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Tata Hukum Indonesia, PT. Tarsit: Bandung, 1977.
Soedikno, Mertokusumo, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Liberty: Yogyakarta, 1988
Subekti, Hukum Acara Perdata, Bina Cipta: Bandung, 1977.
________, Undang-Undang RI No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar